Abu Khaulah Zainal Abidin
البدء بالأهم فالأهم(Mengutamakan yang terpenting, baru kemudian yang penting) adalah prinsip setiap muslim. Artinya, mengenal skala prioritas itu -bagi seorang muslim- merupakan suatu keharusan. Dengannya ia memilih, mempertimbangkan, mengambil, atau meninggalkan sebuah tindakan. Dan terdapat banyak nash serta penjelasan betapa Islam sangat memperhatikan perkara tersebut. Urutan rukun Islam -seperti yang terdapat di dalam Hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim- atau arahan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika hendak mengutus Mu’adz ra berda’wah di Yaman -di dalam Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu yang diriwayatkan juga oleh Al Bukhari dan Muslim-, cukup menjadi bukti akan prinsip tersebut.
Mendahulukan perkara yang Wajib dari pada Mustahabb (yang disukai), mendahulukan membayar hutang dari pada shadaqah, atau mendahulukan menjauh dari Mafsadat (kerusakan) dari pada mengejar Maslahat (kebaikan), semua ini sejalan dengan prinsip-prinsip البدء بالأهم فالأهم . Dan seandainya seorang muslim terlatih sejak dini hidup dengan prinsip ini, tentu ia menjadi pribadi yang mengerti apa yang harus diutamakan dan apa yang harus dibelakangkan. Jika hendak belajar, ia tahu mana yang wajib ia pelajari lebih dahulu dan mana yang tidak. Jika hendak memilih pekerjaan, ia tahu pertimbangan apa yang harus didahulukan. Ketika hendak berdagang, ia tahu mana yang lebih dibutuhkan orang banyak (primer) sehingga berpeluang besar -satu sikap yang sebangun dengan prinsip efektif dan efisien- . Ia tidak akan terlalu lama diombang-ambingkan kebingungan untuk mengambil keputusan atau menetapkan pilihan. Kesemua itu menjadi mudah baginya karena prinsip البدء بالأهم فالأهم sudah mendarah daging padanya.
Pendidikan -yang diberikan orang tua, guru, dan masyarakat luas- harus memperhatikan betul perkara ini. Kenyataan bahwa banyaknya pelajar bingung melanjutkan ke mana, atau sarjana bingung mau kerja apa, antara lain -bukan satu-satunya- disebabkan mereka tidak dibesarkan dan dididik dengan prinsip di atas. Sehingga kebingungan atau ”berada di persimpangan jalan” merupakan kejadian yang sering sekali berulang di dalam perjalanan hidup mereka. Di antaranya adalah apa yang harus dilakukan atau bagaimana mengkompromikannya, jika terjadi benturan pada sistem nilai, antara kebaikan dengan kebenaran, atau antara keindahan dengan kebaikan ? Dan hal ini sangat mungkin bahkan sudah dan sering terjadi, mengingat di dalam kehidupan -apapun yang kita lakukan- tentu berkaitan dengan sistim nilai benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek.
Harus disadari oleh para pendidik -guru dan orang tua- bahwa setiap ucapan atau perbuatan tentu juga mengandung kemungkinan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. Ketika kita berbicara, maka isi, cara, dan gaya pembicaraan kita pasti mengandung semua nilai-nilai di atas. Begitu juga ketika kita bertindak, memakai pakaian misalnya, bahkan memilih sesuatu, Benar-Salah, Baik-Buruk, dan Indah-Jelak tersangkut di sana. Juga harus disadari, bahwa nilai-nilai di atas sudah hadir jauh sebelum kita memutuskan akan berbicara atau mengajar apa, karena berkaitan dengan mana yang mutlak mana yang nisbi, juga berkaitan dengan bagaimana menentukan prioritas, manakah yang harus didahulukan: Logika, Etika, atau Estetika..
Benar-Salah, berkaitan dengan sesuatu yang mutlak, tak ada kesamaran dan kerancuan. Ia ditentukan oleh logika. Logika macam apa yang kita pergunakan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah tentu saja bergantung kepada permasalahan apa yang kita hadapi. Ada logika yang betul-betul ditentukan oleh kemampuan aqal -karena memang aqal memiliki kemampuan untuk memikirkan dan memahami perkara tersebut-, ada juga logika yang dibentuk atas kesadaran akan keterbatasan aqal -karena memang tak mungkin aqal mampu memikirkan dan memahami perkara tersebut-. Tak ada jalan lain dalam hal ini, sesuatu dianggap “logis” manakala sesuai dengan apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Sesuatu itu “logis” jika datang dari nash yang shahih.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:
الحق من ربك فلا تكونن من الممترين
(Artinya:Kebenaran itu datang dari Tuhan-mu. Maka jangan kalian termasuk orang- orang yang ragu.) (Al Baqarah:146)
Karenanya, apa yang telah ditetapkan oleh syari’at sebagai suatu yang benar atau baik, tak ada lagi tempat bagi aqal atau perasaan untuk membantahnya. Dan aqal yang sehat pasti sesuai dengan nash yang shahih. ( العقل الصريح موافق للنقل الصحيح (, bukan sebaliknya.
Baik-Buruk, berkaitan dengan etika yang adakalanya mutlak dan adakalanya tidak. Mutlak, manakala perkara tersebut sudah ditetapkan oleh syari’at, karena bersinggungan langsung dengan perkara-perkara yang telah ditetapkan hukumnya menurut syari’at. Maka, sesuatu dikatakan baik manakala syari’at menganggapnya sebagai kebaikan, dan dikatakan buruk manakala syari’at menganggapnya sebagai keburukan. Dengan kata lain, segala yang diperintahkan di dalam syari’at pasti mengandung kebaikan, dan yang dilarang pasti mengandung keburukan. (النهي يقتضي الفساد)
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
(Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. ALLAH-lah yang mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.) (Al Baqarah:216)
Adapun kebaikan yang tidak mutlak (relatif) adalah yang bukan merupakan ketetapan syari’at. Kebaikan jenis ini diukur menurut aqal, perasaan, atau adat istiadat. Namun demikian ia tetap tidak boleh bertentangan dengan kebenaran atau kebaikan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Di dalam ibadah, satu perkara yang paling mendasar bagi kehidupan manusia, misalnya, kita ma’lumi, bahwa seseorang beribadah dan mendekatkan diri kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tentu menghendaki kebaikan. Maka cara-cara yang mereka tempuh untuk itupun tentu berdasarkan anggapan adanya kebaikan di sana. Namun Islam telah menetapkan, bahwa sesuatu yang tidak dibenarkan menurut syari’at, maka tak ada jalan bagi akal, perasaan, atau adat istiadat untuk menganggapnya sebagai suatu kebaikan.
Terdapat banyak dalil dan keterangan tentang perkara ini, di antaranya:
عن ام المؤمنين أم عبد الله عـائـشة رضي الله عنها ، قالت :
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم:
(من أحدث في أمرنا هـذا مـا لـيـس مـنه فهـو رد ). رواه الـبـخـاري ، ومسلم وفي رواية لمسلم :
( مـن عـمـل عـمـلا لـيـس عـلـيه أمـرنا فهـو رد ).
Dari Ummul Mu’minin, Aisyah radhiallahu anha, berkata: Telah berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengada-ada di dalam urusan agama ini dengan sesuatu yang tidak berasal darinya, maka ia tertolak“ (HR: Al Bukhari dan Muslim. Dan di dalam riwayat Muslim): “Barangsiapa beramal dengan amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka ia tertolak.”
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما قال: كل بدعة ضلالة وإن رأها الناس حسنة
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, berkata: “Setiap bid’ah (mengada-ada dalam urusan agama) itu sesat, meski manusia melihatnya sebagai kebaikan.” (HR: Al Laalika’I, Ibnu Bathah, dan Al Baihaqy)
قال ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه
فقد زعم ان محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة لان الله يقول اليوم اكملت لكم دينكم
فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Telah berkata Ibnu Al Maajasyuun: aku mendengar Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam -dan ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan-, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwasanya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mengkhianati Ar-Risalah. Karena ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah berfirman Hari ini telah Aku sempurnakan agama ini bagimu. Maka, yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama ini, sampai hari inipun bukan merupakan bagian dari agama ini.” (Al I’tisham I/49)
Mulai dari Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Atsar Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, sampai kepada perkataan Imam Malik -rahimahullah- keseluruhannya menegaskan, bahwa agama Islam telah mengajarkan kita untuk menyelaraskan apa yang kita anggap baik itu dengan apa yang dibenarkan Syari’at, bukan sebaliknya.
Mungkin saja -tentunya- bagi kita menetapkan atau memilih apa yang paling baik untuk diambil atau ditempuh. Namun kesempatan tersebut hanya berlaku pada sesuatu yang telah dianggap benar menurut Syari’at, kemudian urusan rinci penerapannya diserahkan kepada aqal. Sebagai contoh, Syari’at menetapkan pakaian untuk menutup aurat, namun jenis kain/tenunan apa yang baik bagi pemakainya -mengingat cuaca/iklim yang berbeda- diserahkan kepada aqal. Jadi, adakalanya terdapat banyak pilihan atau kemungkinan kebaikan manakala satu perkara tersebut telah dibenarkan menurut Syari’at. Akan tetapi, jika telah menyalahi Syari’at, maka tak ada lagi kesempatan untuk menimbang baik-buruknya perkara tersebut, atau bersusah payah memilih mana yang terbaik -menurut aqal, perasaaan, atau adat istiadat-.
Indah-Jelek, berkaitan dengan estetika yang sangat relatif. Ia diserahkan kepada aqal, perasaan, selera, atau adat istiadat. Namun demikian, sebagaimana pertimbangan baik-buruk didahului oleh petimbangan benar-salah, maka indah-jelek pun didahului oleh baik-buruk. Terbuka kesempatan bagi kita untuk mempertimbangkan keindahan sesuatu perbuatan manakala secara etika perbuatan tersebut telah dinilai baik. Akan tetapi, manakala secara etika telah dinilai buruk, maka tak ada jalan bagi kita untuk menganggap perbuatan tersebut indah, atau bersusah payah membuat agar perbuatan tersebut menjadi indah.
Ketika kita membaca Al Qur’an, bukankah yang harus kita dahulukan benar-salah atau baik-buruk bacaannya sebelum berusaha memperindah dengan suara dan lagu. Dan bagi orang yang mengerti tentu ia tak akan menganggap bacaan seorang itu indah -meski dengan suara dan lagu yang dibuat sedemikian rupa- jika di sana terdapat kesalahan di dalam cara membaca.
Sesungguhnya, prinsip ini berlaku tidak semata di dalam urusan ibadah atau semata di dalam urusan agama . Bahkan ini berlaku pada setiap masalah -yang mungkin saja kita anggap bukan urusan agama atau -yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Jika kita berbicara, misalnya, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Pertama-tama, apakah yang keluar dari mulut kita ini benar sesuai dengan apa yang kita maksudkan. Ke-dua, sudah baikkah susunan kalimat dan intonasinya sehingga mudah dimengerti oleh yang mendengar. Ke-tiga, kita berusaha -mungkin- menyampaikannya dengan ungkapan-ungkapan yang indah agar diterima oleh yang mendengar. Tentu saja urutan ini tidak boleh terbalik. Begitu pula ketika seorang insinyur hendak merancang dan membangun sebuah rumah, misalnya. Pertimbangan estetika adalah pertimbangan terakhir. Mengakhirkan pertimbangan estetika di atas artinya juga adalah mengebelakangkan perasaan atau selera.
Betapa pentingnya perkara ini di dalam pendidikan. Dan jika kita perhatikan, tampak sekali bahwa selama ini anak-anak kita -bahkan kita- dibesarkan di bawah asuhan sistem nilai yang sering keliru, lebih tepatnya; jungkir balik. Ketika memilih makanan untuk mereka, kita utamakan enaknya ketimbang gizinya, dan anak tidak pernah diajarkan tentang ini. Ketika memilih pakaian, kita utamakan bagusnya ketimbang memenuhi syarat -menutup aurat- nya. Kita belikan anak jam tangan, padahal ia belum dapat memanfaatkannya. Mendahulukan bentuk dan penampilan ketimbang fungsi. Belum lagi ungkapan-ungkapan yang berseliweran di sekitar kita ; Ngono ya ngono, ning ojo ngono. ( Gitu ya gitu, tapi jangan gitu), sebuah ungkapan di mana perasaan akan kebaikan berusaha menghalangi sampainya kebenaran. Berbahasalah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar ! , sebuah ungkapan yang menyiratkan adanya sebuah kebaikan walaupun itu tidak benar.
Kita tidak pernah mendidik, melatih, dan membiasakan keberpihakan diri dan anak kita kepada kebenaran (-apalagi menurut agama-) mengalahkan keberpihakan kepada kebaikan (-menurut adat, nalar, atau perasaan-). Bahkan lebih dari itu, kita tidak pernah melatih diri dan anak kita untuk merasakan dan menikmati keindahan (estetika) di dalam bingkai kebaikan (etika), juga menerima sesuatu sebagai kebaikan (etis) di dalam takaran kebenaran. Dan untuk perkara ini tidak cukup sebuah ungkapan “ Yang Benar Pastilah Baik, Yang Baik Belum Tentu Benar. Yang Benar Pastilah Indah, Yang Indah Belum Tentu Benar.” Akan tetapi seharusnya adalah: “ Kebaikan ada pada kebenaran, dan yang tidak benar pastilah juga tidak baik dan tidak indah. Keindahan ada pada kebaikan, dan yang tidak baik pasti tidak indah.”
Sejak kecil kita -dan sekarang anak-anak kita- dimanjakan dengan estetika sebelum terlatih berpikir logis. Guru TK kita dulu -dan sekarang juga masih- dalam rangka melatih ketrampilan mengajar murid merangkai bunga, bukan melipat kertas untuk dibuat sampul, amplop, atau tas. Mendahulukan ketrampilan disain dekoratif ketimbang disain produk. Mengajar menyanyi dan menari sama besar porsinya -bahkan lebih besar dan didahulukan- dari pada mengajar menghafal Al Qur’an dan berolah raga. Kita biarkan diri kita dan anak-anak kita di bawah asuhan di mana perasaan menguasai dan mengalahkan penalaran.
Maka jangan heran jika selera keindahan (estetika) kita dan anak kelak tumbuh liar tanpa kendali etika. Keberpihakan kepada estetika mengalahkan etika, juga terhadap benar-salah menurut agama. Pantas kalau kemudian banyak seniman merasa sulit untuk meninggalkan dunianya ketika ternyata belakangan diketahui bahwa profesinya bertentangan dengan syari’at. Dan jika sudah demikian, berlakulah pena’wilan-pena’wilan terhadap ketentuan syari’at; “Oh, larangan melukis makhluq hidup itu dulu ketika manusia masih cenderung menyembah patung. Kalau sekarang, larangan itu tidak berlaku lagi..” Memangnya kapan hukum tersebut di-mansukh-kan ? Memangnya sekarang sudah tidak ada lagi manusia yang menyembah patung atau berhala ?
Jangan heran pula kalau kemudian pornografi, misalnya, mendapatkan legitimasi dengan pertimbangan estetika. Lihat, bagaimana sulitnya kita menetapkan batasan porno karena harus berhadapan dengan pertimbangan adat ! Dan dari sisi ini tampak sekali, bahwa pola pikir Ahlul Ma’shiyat ( orang yang senang berbuat ma’shiyat) ternyata sama sebangun dengan pola pikir Ahlul Bid’ah (orang yang suka mengada-ada di dalam urusan agama/ibadah) . Kedua-duanya sama-sama mendahulukan serta memanjakan perasaan, mengalahkan pertimbangan etika, mendahulukan serta memanjakan akal, perasaan, dan adat mengalahkan pertimbangan syar’iy.