Jumat, 27 Maret 2009

"Antara Benar,Baik,dan Indah"

Abu Khaulah Zainal Abidin

البدء بالأهم فالأهم(Mengutamakan yang terpenting, baru kemudian yang penting) adalah prinsip setiap muslim. Artinya, mengenal skala prioritas itu -bagi seorang muslim- merupakan suatu keharusan. Dengannya ia memilih, mempertimbangkan, mengambil, atau meninggalkan sebuah tindakan. Dan terdapat banyak nash serta penjelasan betapa Islam sangat memperhatikan perkara tersebut. Urutan rukun Islam -seperti yang terdapat di dalam Hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim- atau arahan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika hendak mengutus Mu’adz ra berda’wah di Yaman -di dalam Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu yang diriwayatkan juga oleh Al Bukhari dan Muslim-, cukup menjadi bukti akan prinsip tersebut.

Mendahulukan perkara yang Wajib dari pada Mustahabb (yang disukai), mendahulukan membayar hutang dari pada shadaqah, atau mendahulukan menjauh dari Mafsadat (kerusakan) dari pada mengejar Maslahat (kebaikan), semua ini sejalan dengan prinsip-prinsip البدء بالأهم فالأهم . Dan seandainya seorang muslim terlatih sejak dini hidup dengan prinsip ini, tentu ia menjadi pribadi yang mengerti apa yang harus diutamakan dan apa yang harus dibelakangkan. Jika hendak belajar, ia tahu mana yang wajib ia pelajari lebih dahulu dan mana yang tidak. Jika hendak memilih pekerjaan, ia tahu pertimbangan apa yang harus didahulukan. Ketika hendak berdagang, ia tahu mana yang lebih dibutuhkan orang banyak (primer) sehingga berpeluang besar -satu sikap yang sebangun dengan prinsip efektif dan efisien- . Ia tidak akan terlalu lama diombang-ambingkan kebingungan untuk mengambil keputusan atau menetapkan pilihan. Kesemua itu menjadi mudah baginya karena prinsip البدء بالأهم فالأهم sudah mendarah daging padanya.

Pendidikan -yang diberikan orang tua, guru, dan masyarakat luas- harus memperhatikan betul perkara ini. Kenyataan bahwa banyaknya pelajar bingung melanjutkan ke mana, atau sarjana bingung mau kerja apa, antara lain -bukan satu-satunya- disebabkan mereka tidak dibesarkan dan dididik dengan prinsip di atas. Sehingga kebingungan atau ”berada di persimpangan jalan” merupakan kejadian yang sering sekali berulang di dalam perjalanan hidup mereka. Di antaranya adalah apa yang harus dilakukan atau bagaimana mengkompromikannya, jika terjadi benturan pada sistem nilai, antara kebaikan dengan kebenaran, atau antara keindahan dengan kebaikan ? Dan hal ini sangat mungkin bahkan sudah dan sering terjadi, mengingat di dalam kehidupan -apapun yang kita lakukan- tentu berkaitan dengan sistim nilai benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek.

Harus disadari oleh para pendidik -guru dan orang tua- bahwa setiap ucapan atau perbuatan tentu juga mengandung kemungkinan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. Ketika kita berbicara, maka isi, cara, dan gaya pembicaraan kita pasti mengandung semua nilai-nilai di atas. Begitu juga ketika kita bertindak, memakai pakaian misalnya, bahkan memilih sesuatu, Benar-Salah, Baik-Buruk, dan Indah-Jelak tersangkut di sana. Juga harus disadari, bahwa nilai-nilai di atas sudah hadir jauh sebelum kita memutuskan akan berbicara atau mengajar apa, karena berkaitan dengan mana yang mutlak mana yang nisbi, juga berkaitan dengan bagaimana menentukan prioritas, manakah yang harus didahulukan: Logika, Etika, atau Estetika..

Benar-Salah, berkaitan dengan sesuatu yang mutlak, tak ada kesamaran dan kerancuan. Ia ditentukan oleh logika. Logika macam apa yang kita pergunakan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah tentu saja bergantung kepada permasalahan apa yang kita hadapi. Ada logika yang betul-betul ditentukan oleh kemampuan aqal -karena memang aqal memiliki kemampuan untuk memikirkan dan memahami perkara tersebut-, ada juga logika yang dibentuk atas kesadaran akan keterbatasan aqal -karena memang tak mungkin aqal mampu memikirkan dan memahami perkara tersebut-. Tak ada jalan lain dalam hal ini, sesuatu dianggap “logis” manakala sesuai dengan apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Sesuatu itu “logis” jika datang dari nash yang shahih.

ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:

الحق من ربك فلا تكونن من الممترين

(Artinya:Kebenaran itu datang dari Tuhan-mu. Maka jangan kalian termasuk orang- orang yang ragu.) (Al Baqarah:146)

Karenanya, apa yang telah ditetapkan oleh syari’at sebagai suatu yang benar atau baik, tak ada lagi tempat bagi aqal atau perasaan untuk membantahnya. Dan aqal yang sehat pasti sesuai dengan nash yang shahih. ( العقل الصريح موافق للنقل الصحيح (, bukan sebaliknya.

Baik-Buruk, berkaitan dengan etika yang adakalanya mutlak dan adakalanya tidak. Mutlak, manakala perkara tersebut sudah ditetapkan oleh syari’at, karena bersinggungan langsung dengan perkara-perkara yang telah ditetapkan hukumnya menurut syari’at. Maka, sesuatu dikatakan baik manakala syari’at menganggapnya sebagai kebaikan, dan dikatakan buruk manakala syari’at menganggapnya sebagai keburukan. Dengan kata lain, segala yang diperintahkan di dalam syari’at pasti mengandung kebaikan, dan yang dilarang pasti mengandung keburukan. (النهي يقتضي الفساد)

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

(Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. ALLAH-lah yang mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.) (Al Baqarah:216)

Adapun kebaikan yang tidak mutlak (relatif) adalah yang bukan merupakan ketetapan syari’at. Kebaikan jenis ini diukur menurut aqal, perasaan, atau adat istiadat. Namun demikian ia tetap tidak boleh bertentangan dengan kebenaran atau kebaikan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Di dalam ibadah, satu perkara yang paling mendasar bagi kehidupan manusia, misalnya, kita ma’lumi, bahwa seseorang beribadah dan mendekatkan diri kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tentu menghendaki kebaikan. Maka cara-cara yang mereka tempuh untuk itupun tentu berdasarkan anggapan adanya kebaikan di sana. Namun Islam telah menetapkan, bahwa sesuatu yang tidak dibenarkan menurut syari’at, maka tak ada jalan bagi akal, perasaan, atau adat istiadat untuk menganggapnya sebagai suatu kebaikan.

Terdapat banyak dalil dan keterangan tentang perkara ini, di antaranya:

عن ام المؤمنين أم عبد الله عـائـشة رضي الله عنها ، قالت :

قال رسول الله صلي الله عليه وسلم:

(من أحدث في أمرنا هـذا مـا لـيـس مـنه فهـو رد ). رواه الـبـخـاري ، ومسلم وفي رواية لمسلم :

( مـن عـمـل عـمـلا لـيـس عـلـيه أمـرنا فهـو رد ).

Dari Ummul Mu’minin, Aisyah radhiallahu anha, berkata: Telah berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Barangsiapa yang mengada-ada di dalam urusan agama ini dengan sesuatu yang tidak berasal darinya, maka ia tertolak (HR: Al Bukhari dan Muslim. Dan di dalam riwayat Muslim): “Barangsiapa beramal dengan amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka ia tertolak.”

عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما قال: كل بدعة ضلالة وإن رأها الناس حسنة

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, berkata: “Setiap bid’ah (mengada-ada dalam urusan agama) itu sesat, meski manusia melihatnya sebagai kebaikan.” (HR: Al Laalika’I, Ibnu Bathah, dan Al Baihaqy)

قال ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه

فقد زعم ان محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة لان الله يقول اليوم اكملت لكم دينكم

فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا

Telah berkata Ibnu Al Maajasyuun: aku mendengar Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam -dan ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan-, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwasanya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mengkhianati Ar-Risalah. Karena ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah berfirman Hari ini telah Aku sempurnakan agama ini bagimu. Maka, yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama ini, sampai hari inipun bukan merupakan bagian dari agama ini.” (Al I’tisham I/49)

Mulai dari Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Atsar Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, sampai kepada perkataan Imam Malik -rahimahullah- keseluruhannya menegaskan, bahwa agama Islam telah mengajarkan kita untuk menyelaraskan apa yang kita anggap baik itu dengan apa yang dibenarkan Syari’at, bukan sebaliknya.

Mungkin saja -tentunya- bagi kita menetapkan atau memilih apa yang paling baik untuk diambil atau ditempuh. Namun kesempatan tersebut hanya berlaku pada sesuatu yang telah dianggap benar menurut Syari’at, kemudian urusan rinci penerapannya diserahkan kepada aqal. Sebagai contoh, Syari’at menetapkan pakaian untuk menutup aurat, namun jenis kain/tenunan apa yang baik bagi pemakainya -mengingat cuaca/iklim yang berbeda- diserahkan kepada aqal. Jadi, adakalanya terdapat banyak pilihan atau kemungkinan kebaikan manakala satu perkara tersebut telah dibenarkan menurut Syari’at. Akan tetapi, jika telah menyalahi Syari’at, maka tak ada lagi kesempatan untuk menimbang baik-buruknya perkara tersebut, atau bersusah payah memilih mana yang terbaik -menurut aqal, perasaaan, atau adat istiadat-.


Indah-Jelek, berkaitan dengan estetika yang sangat relatif. Ia diserahkan kepada aqal, perasaan, selera, atau adat istiadat. Namun demikian, sebagaimana pertimbangan baik-buruk didahului oleh petimbangan benar-salah, maka indah-jelek pun didahului oleh baik-buruk. Terbuka kesempatan bagi kita untuk mempertimbangkan keindahan sesuatu perbuatan manakala secara etika perbuatan tersebut telah dinilai baik. Akan tetapi, manakala secara etika telah dinilai buruk, maka tak ada jalan bagi kita untuk menganggap perbuatan tersebut indah, atau bersusah payah membuat agar perbuatan tersebut menjadi indah.

Ketika kita membaca Al Qur’an, bukankah yang harus kita dahulukan benar-salah atau baik-buruk bacaannya sebelum berusaha memperindah dengan suara dan lagu. Dan bagi orang yang mengerti tentu ia tak akan menganggap bacaan seorang itu indah -meski dengan suara dan lagu yang dibuat sedemikian rupa- jika di sana terdapat kesalahan di dalam cara membaca.

Sesungguhnya, prinsip ini berlaku tidak semata di dalam urusan ibadah atau semata di dalam urusan agama . Bahkan ini berlaku pada setiap masalah -yang mungkin saja kita anggap bukan urusan agama atau -yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Jika kita berbicara, misalnya, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Pertama-tama, apakah yang keluar dari mulut kita ini benar sesuai dengan apa yang kita maksudkan. Ke-dua, sudah baikkah susunan kalimat dan intonasinya sehingga mudah dimengerti oleh yang mendengar. Ke-tiga, kita berusaha -mungkin- menyampaikannya dengan ungkapan-ungkapan yang indah agar diterima oleh yang mendengar. Tentu saja urutan ini tidak boleh terbalik. Begitu pula ketika seorang insinyur hendak merancang dan membangun sebuah rumah, misalnya. Pertimbangan estetika adalah pertimbangan terakhir. Mengakhirkan pertimbangan estetika di atas artinya juga adalah mengebelakangkan perasaan atau selera.

Betapa pentingnya perkara ini di dalam pendidikan. Dan jika kita perhatikan, tampak sekali bahwa selama ini anak-anak kita -bahkan kita- dibesarkan di bawah asuhan sistem nilai yang sering keliru, lebih tepatnya; jungkir balik. Ketika memilih makanan untuk mereka, kita utamakan enaknya ketimbang gizinya, dan anak tidak pernah diajarkan tentang ini. Ketika memilih pakaian, kita utamakan bagusnya ketimbang memenuhi syarat -menutup aurat- nya. Kita belikan anak jam tangan, padahal ia belum dapat memanfaatkannya. Mendahulukan bentuk dan penampilan ketimbang fungsi. Belum lagi ungkapan-ungkapan yang berseliweran di sekitar kita ; Ngono ya ngono, ning ojo ngono. ( Gitu ya gitu, tapi jangan gitu), sebuah ungkapan di mana perasaan akan kebaikan berusaha menghalangi sampainya kebenaran. Berbahasalah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar ! , sebuah ungkapan yang menyiratkan adanya sebuah kebaikan walaupun itu tidak benar.

Kita tidak pernah mendidik, melatih, dan membiasakan keberpihakan diri dan anak kita kepada kebenaran (-apalagi menurut agama-) mengalahkan keberpihakan kepada kebaikan (-menurut adat, nalar, atau perasaan-). Bahkan lebih dari itu, kita tidak pernah melatih diri dan anak kita untuk merasakan dan menikmati keindahan (estetika) di dalam bingkai kebaikan (etika), juga menerima sesuatu sebagai kebaikan (etis) di dalam takaran kebenaran. Dan untuk perkara ini tidak cukup sebuah ungkapan Yang Benar Pastilah Baik, Yang Baik Belum Tentu Benar. Yang Benar Pastilah Indah, Yang Indah Belum Tentu Benar.” Akan tetapi seharusnya adalah: Kebaikan ada pada kebenaran, dan yang tidak benar pastilah juga tidak baik dan tidak indah. Keindahan ada pada kebaikan, dan yang tidak baik pasti tidak indah.”

Sejak kecil kita -dan sekarang anak-anak kita- dimanjakan dengan estetika sebelum terlatih berpikir logis. Guru TK kita dulu -dan sekarang juga masih- dalam rangka melatih ketrampilan mengajar murid merangkai bunga, bukan melipat kertas untuk dibuat sampul, amplop, atau tas. Mendahulukan ketrampilan disain dekoratif ketimbang disain produk. Mengajar menyanyi dan menari sama besar porsinya -bahkan lebih besar dan didahulukan- dari pada mengajar menghafal Al Qur’an dan berolah raga. Kita biarkan diri kita dan anak-anak kita di bawah asuhan di mana perasaan menguasai dan mengalahkan penalaran.

Maka jangan heran jika selera keindahan (estetika) kita dan anak kelak tumbuh liar tanpa kendali etika. Keberpihakan kepada estetika mengalahkan etika, juga terhadap benar-salah menurut agama. Pantas kalau kemudian banyak seniman merasa sulit untuk meninggalkan dunianya ketika ternyata belakangan diketahui bahwa profesinya bertentangan dengan syari’at. Dan jika sudah demikian, berlakulah pena’wilan-pena’wilan terhadap ketentuan syari’at; “Oh, larangan melukis makhluq hidup itu dulu ketika manusia masih cenderung menyembah patung. Kalau sekarang, larangan itu tidak berlaku lagi..” Memangnya kapan hukum tersebut di-mansukh-kan ? Memangnya sekarang sudah tidak ada lagi manusia yang menyembah patung atau berhala ?

Jangan heran pula kalau kemudian pornografi, misalnya, mendapatkan legitimasi dengan pertimbangan estetika. Lihat, bagaimana sulitnya kita menetapkan batasan porno karena harus berhadapan dengan pertimbangan adat ! Dan dari sisi ini tampak sekali, bahwa pola pikir Ahlul Ma’shiyat ( orang yang senang berbuat ma’shiyat) ternyata sama sebangun dengan pola pikir Ahlul Bid’ah (orang yang suka mengada-ada di dalam urusan agama/ibadah) . Kedua-duanya sama-sama mendahulukan serta memanjakan perasaan, mengalahkan pertimbangan etika, mendahulukan serta memanjakan akal, perasaan, dan adat mengalahkan pertimbangan syar’iy.

Partai Islam Partai Dakwah

Partai Islam Partai Dakwah?


Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu dalam Al-Hujajul Qawiyyah ‘ala anna Wasa’il Ad-Da’wah Tauqifiyyah menuturkan bahwa dakwah (mengajak manusia) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ibadah yang agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hal ini. Mendorong setiap muslim untuk terjun dalam kancah dakwah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para pegiat dakwah sebagai sebaik-baik manusia dalam perkataannya. Mengangkat amalan mereka pada derajat utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’?” (Fushshilat: 33)

Ini mengandung pengertian, bahwa tak ada seorang pun yang paling baik perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beramal dengan apa yang didakwahkannya. Dia menjelaskan secara gamblang tentang dakwah yang diembannya tanpa malu, jenuh, berat, dan malas. Bahkan dia katakan: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”

Seseorang tidak akan merasa tertipu dengan menduduki status sebagai da’i (orang yang menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sebab, dirinya termasuk orang yang mewarisi tugas para nabi, yaitu mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Penutup dan Imam para nabi:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Ayat ini menjadi dalil, sesungguhnya para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah du’at (para penyeru) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa Alah l berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dia memerintahkannya agar mengabarkan kepada segenap manusia bahwa jalan ini, yaitu thariqah dan sunnahnya, adalah mendakwahkan kepada kesaksian “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah saja tiada sekutu bagi-Nya,” menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan materi dakwah tersebut berdasar bashirah (hujjah), keyakinan, dan burhan (penjelasan). Dia dan segenap orang yang mengikutinya mendakwahkan kepada apa yang telah didakwahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar bashirah, yakin, burhan, akal, dan syariat. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/496)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi jawaban bahwa selalu akan ada pada umat ini sekelompok manusia yang menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kelompok tersebut membimbing manusia kepada kebaikan, memerintahkan mereka dengan kebaikan tersebut, memperingatkan segenap manusia dari keburukan dan mencegah mereka untuk melakukan keburukan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Bersandar pada ayat di atas, para ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa berdakwah, mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dihukumi fardhu kifayah. Wajib atas sekelompok dari kalangan kaum muslimin untuk menegakkannya di setiap zaman dan tempat. Jika tidak ada yang menegakkannya sama sekali, maka mereka semua berdosa. (Majmu’ Al-Fatawa, 15/165)

Allah Subhanahu wa Ta’ala sungguh telah menyediakan pahala yang besar dan balasan nan melimpah bagi siapa yang menegakkan perkara dakwah ini. Dalam Ash-Shahihain, dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
وَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran engkau, itu lebih baik bagimu daripada (engkau mendapat) unta merah.”

Unta merah adalah sebaik-baik harta di kalangan orang Arab waktu itu.
Dalam Shahih Muslim (no. 2674) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ مِن أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka sedikit pun.”

Juga disebutkan dalam Shahih Muslim, hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukan kebaikan tersebut.”

Demikianlah Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu mengungkapkan keutamaan dakwah, mengajak manusia untuk senantiasa berada di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berada dalam ketaatan kepada-Nya, meninggalkan segala perkara yang dilarang-Nya. Dakwah adalah ibadah. Karenanya, dakwah dengan sarana-sarana yang mengantarkan kepada tujuannya adalah bersifat tauqifiyah (sebuah ketetapan yang diatur syariat). Bukan perkara yang semua orang bebas melontarkan pemikiran dan pendapatnya hanya lantaran dia melihat sesuatu yang dia anggap sebagai maslahat padanya. Islam tak semata mengarah kepada tujuan, namun Islam mengatur pula bagaimana (atau dengan cara apa) sebuah tujuan itu harus dicapai. Untuk menggapai tujuan, Islam melarang menghalalkan segala cara.

Menurut Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu, tujuan menghalalkan segala cara (الْغَايَةُ تُبَرِّرُ الْوَسِيلَةَ) merupakan kaidah pemahaman Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ ءَامِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا ءَاخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)

Contoh kasus penerapan kaidah Yahudi ini yaitu diperbolehkan seseorang memasuki gelanggang (menjadi anggota) “parlemen kafir” dengan tujuan berdakwah (mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbaiki masyarakat dan negara). Sama halnya dengan menjadikan tarian dan nyanyian sebagai wasilah (perantara atau alat) dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bentuk-bentuk aplikasi dari kaidah “tujuan menghalalkan segala cara.” (Lihat Al-Hujajul Qawiyyah, hal. 44-45)

Hal yang sama dinyatakan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah, bahwa pemilu adalah wasilah (sarana) yang diharamkan. Wasilah ini, katanya lebih lanjut, adalah wasilah yang haram bila didalami dan dikaitkan dengan satu kaidah yang disebut:
الْغَايَةُ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ
“Tujuan menghalalkan semua cara.”

Kaidah tersebut merupakan kaidah Zionis Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ ءَامِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا ءَاخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)

Kata beliau hafizhahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan membangun kuburan (mendirikan bangunan di atas kuburan), karena hal itu bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik. Begitu pula halnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan mendekati kemaksiatan karena hal itu bisa mengantarkan seseorang terjatuh padanya. Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan mencela sesembahan orang-orang musyrik karena perbuatan itu bakal memancing mereka melakukan celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Al-An’am: 108) [Lihat Tanwir Azh-Zhulumat, hal. 65-66)

Maka, sungguh hal yang aneh dan ganjil bila ada fatwa yang mengharamkan golput (tidak mengikuti pemilu). “Wajib bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin. Kalau yang dipilih ada, namun tidak dipilih menjadi haram,” ujar Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat saat menjelaskan hasil Ijtima’ Ulama Fatwa III MUI di Padangpanjang, Sumbar. Bagaimana mungkin memunculkan pemimpin dilakukan dengan cara-cara yang haram? Bukankah berpartai dan pemilu merupakan rangkaian dari sebuah sistem demokrasi1? Bukankah berpartai dan pemilu merupakan wasilah yang diharamkan? Ini sama dengan orang bersuci tapi menggunakan air najis.
Demikian pula dengan pemikiran yang mengusung pemahaman bahwa partai merupakan sarana atau “kendaraan” menyampaikan dakwah. Dari pemahaman ini mencuatlah istilah “Partai Dakwah.” Maknanya, partai politik yang mengemban amanat dakwah dan menyalurkan aspirasi politik kaum muslimin.

Fakta di lapangan, masyarakat yang bersifat heterogen tentu tidak akan mau menerima kehadiran kader partai yang menyampaikan dakwah, menyitir ayat Al-Qur’an dan hadits, yang menggiring masyarakat untuk mendukung partainya. Fakta di lapangan, banyak masjid menolak kehadiran mubaligh yang berceramah mengarahkan pendengarnya untuk memilih partai tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki dakwah yang murni. Dakwah yang mengajarkan pemahaman agama yang lurus dam benar. Bukan dakwah yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan partai, meskipun partai tersebut mengusung diri sebagai “partai dakwah” yang memimpikan keadilan dan kesejahteraan.

Pemikiran yang menjadikan partai sebagai alat dakwah, perjuangan menegakkan syariat Islam, tak cuma di Indonesia. Di Mesir, melalui gerakan Ikhwanul Muslimin, tujuan meperjuangkan Islam melalui jalur politik hingga kini tiada membuahkan hasil. Di Pakistan dengan Jamaat Islami, juga tak bisa meraih suara seperti yang diharapkan. Di Sudan, di bawah pimpinan Hasan At-Turabi, berhasil memenangkan pemilu. Akan tetapi, dakwah melalui jalur politik justru malah membuahkan wakil presiden dari kalangan Nasrani. Tak hanya itu, Hasan At-Turabi pun melegalkan pemurtadan (lihat Asy Syariah no. 16/II/1426H/2005).

Di Yaman, Abdulmajid Az-Zindani menjadi salah satu mesin penggerak demokrasi. Melalui media yang ada, dia menyerukan kaum muslimah untuk terjun dalam dunia politik. Meski untuk hal itu terjadi banyak pelanggaran syariat. (Lihat Tuhfatul Mujib ‘ala As’ilatil Hadhiri wal Gharib, Bab Az-Zindani wa Majlis Asy-Syaikhat bil Yaman, hal. 417, karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)

Di Aljazair malah lebih menyedihkan. Pemilu yang telah dimenangkan partai Islam berakhir dengan tragedi berdarah. Kaum muslimin dihantui ketakutan. Dakwah pun selalu dicurigai bahkan dihalangi pihak penguasa.
Demikianlah bila kaum muslimin menjadikan sistem demokrasi sebagai panglima. Alih-alih bakal memberi kebaikan, ternyata memberi mudarat yang luar biasa kepada kaum muslimin. Banyak yang mengira sistem demokrasi bisa memberikan kebaikan bagi kaum muslimin. Senyatanya, justru meruntuhkan nilai-nilai Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلاَ تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Fathir: 8)

Kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu, “Apakah makna demokrasi? Demokrasi bermakna rakyat menghukumi dirinya dengan dirinya sendiri. Seandainya (melalui pemungutan suara) menghasilkan suara (terbanyak) bahwa homoseksual itu halal, niscaya hasil suara tersebut akan didahulukan daripada Al-Kitab dan As-Sunnah.” (Tuhfatul Mujib, hal. 431)

Sungguh naif sekali jika untuk menentukan kebenaran, halal-haram, baik-jelek, dengan cara pengumpulan suara. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ. أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Ma’idah: 49-50)

Sebagian mereka berpendapat, jika mereka menguasai perolehan suara dan berhasil meraih kursi mayoritas di DPR atau berhasil merebut kursi kepemimpinan negara dalam pemilu, niscaya akan bisa ditegakkan syariat Islam. Benarkah?

Para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala berdakwah menyeru umat manusia agar menetapi tauhid yang lurus. Inilah tugas para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

Para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nuh, Hud, Shalih, dan Syu’aib r menyeru kaumnya masing-masing dengan ajakan yang sama:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Saya telah diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka melakukan kesaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 33 dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Itulah inti dakwah para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dakwah tauhid ini pula mereka menghadapi tribulasi (berbagai cobaan) dakwah, saat mengajak dan menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Permusuhan orang-orang kafir di zamannya bukan karena para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut merebut kekuasaan. Bukan pula lantaran hendak mengatur pemerintahan. Tapi, permusuhan orang-orang kafir itu disebabkan dakwah tauhid.

Sungguh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawari kekayaan, dibujuk untuk ditempatkan menjadi orang mulia di kalangan Quraisy, dan ditawari kekuasaan. Namun, semua bentuk tawaran dari utusan orang-orang Quraisy tersebut beliau tolak. (Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, 1/206-208, karya Ibnu Hisyam)

Ada sebuah pertanyaan penting untuk dijawab: Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak tawaran kekuasaan tersebut? Tak lain karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu –tentunya di bawah bimbingan wahyu– bahwa tawaran tersebut mengandung berbagai konsekuensi yang bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sistem kekuasaan yang ditawarkan oleh orang-orang Quraisy tersebut akan menyeret beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang mukminin yang bersamanya ke dalam berbagai pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dakwah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan bukan bertujuan meraup keduniaan. Bukan untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bukan guna menjadi orang yang paling berkuasa, dan dengan kekuasaan itu beliau lalu bisa mengatur orang-orang Quraisy. Bukan. Bukan demikian tujuan dakwah yang beliau emban. Tapi benar-benar dalam rangka mengentaskan umat manusia dari lumpur kesyirikan, menuju kemurnian tauhid.

Maka, jika menghendaki tegaknya syariat Islam bukan dengan cara menceburkan diri dalam kubangan lumpur demokrasi. Karena, kemuliaan dakwah nan hakiki tak akan bisa diusung oleh budak-budak demokrasi. Kemuliaan Islam hanya bisa diraih dengan meneladani generasi terdahulu dari umat ini, yaitu generasi salaf. Seperti diungkapkan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullahu:
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Tidak akan baik (generasi) akhir umat ini kecuali apa (cara/sistem yang) dengannya telah menjadikan baik (generasi) awal umat ini.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan bahwa kehinaan bisa menerpa umatnya manakala agama tidak dijadikan rujukan. Kehinaan itu akan terus-menerus ada hingga mereka mau kembali mengamalkan nilai-nilai Islam. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan pesan tersebut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لاَ يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian telah disibukkan dengan jual beli riba, kalian mengambil ekor-ekor sapi, dan senang dengan pertanian, serta meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan tersebut dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 11)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Sebaliknya, manakala kaum muslimin berpegang teguh dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan berkah-Nya. Firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)2

Jalan keselamatan adalah mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan dengan cara mengambil pemikiran-pemikiran yang menyelisihi Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu:
الْاِعْتِصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ
“Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.”
Wallahu a’lam.

1 Pembahasan tentang demokrasi menurut kacamata Islam, bisa pembaca lihat pada majalah kita ini, Vol. I/No. 06/ Maret 2004/ 1425 H
2 Lihat pula penjelasan Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menerangkan ayat ke-55 dari surah An-Nur, dalam artikel Kajian Utama berjudul Demi Suara, Apapun Dilakukan.

Selasa, 24 Maret 2009

Belajar saja tidak Cukup
Saya baru tersadar betapa tidak pedulinya para pelajar saat ini terhadap dunia pendidikan. Wujud ketidakpedulian tersebut saya rasakan dari sikap acuh pelajar terhadap proses belajar. Bukankah kata "proses" sudah lebih dari cukup menjabarkan sesuatu yang harus dilakukan secara bertahap dan dalam selang waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, ada suatu rutinitas yang harus dijalankan guna memperoleh hasil yang maksimal.
Mengacu pada pelajar. Sebenarnya, ada keuntungan yang masih sedikit implisit dimata masyarakat dengan status pelajar. Status pelajar lebih memiliki banyak peluang untuk membangun diri dengan menyerap banyak wawasan (dipandang lebih lazim). Permasalahannya, apakah para pelajar memilih mendapatkan atau tidak? Kembali pada label ketidakpedulian yang terlanjur dimiliki banyak pelajar. Maka ketidakpedulian itu menimbulkan ketidaktahuan, tentunya karena orang yang tidak peduli memang tidak mau tahu apa-apa. Sebaliknya, ketidaktahuan juga membuat orang tidak peduli. Jadi seperti lingkaran setan. Because that, what i'm trying to say is: everybody must have the responbility for ourself. Tanggungjawab memang cukup identik dengan hal-hal besar yang dikerjakan. Selain itu biasanya juga rumit dan sulit. Contohnya adalah pelajar yang menjadi bagian dari Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Anggota OSIS dituntut untuk memiliki tanggungjawab yang besar pada pelajaran sekolah dan program OSIS yang harus diwujudkan. Namun jika dikaji ulang, tangggungjawab juga diperlukan pada hal-hal yang sederhana.
Mereka yang punya segudang aktivitas sesungguhnya hanya menggunakan kepiawaian mengatur waktu. Dan tanggungjawab sejatinya telah terpatri dalam kehidupan mereka. Karena hal-hal kecil telah mampu ditangani dengan baik, mereka berani merambah pada berbagai kegiatan lain diantara padatnya kegiatan utama sebagai pelajar. Rasa tanggungjawab juga tidak dapat terasumsi dengan terbebani suatu pekerjaan atau tugas. Dengan demikian, tanggungjawab tidak hanya berlaku pada hal-hal yang disenangi saja tetapi juga yang tidak menyenangkan bagi kita.
Menciptakan rasa antusias di dalam diri sendiri akan menghadirkan semangat yang menakjubkan. Bagaimana tidak, sebanyak apapun hal yang dilakukan, rasa lelah dan jenuh tidak akan singgah. Dan kesulitan apapun yang menghadang akan dapat diterjang. Semuanya dikarenakan antusias yang dimiliki mampu membangkitkan semangat keingintahuan dan semangat untuk menguasai suatu hal. Lebih simpelnya, tanggungjawab itu hanyalah dampak yang nantinya akan diberikan kepada diri kita. Fokus yang perlu diperhatikan hanya pada seberapa tinggi ketertarikan yang ada dalam diri kita.
Bagi seorang pelajar, kesulitan mencerna suatu materi adalah hal yang biasa terjadi. Tak jarang, meskipun telah berusaha dengan keras, materi tersebut tetap tidak mampu dikuasai. Akibatnya, prestasi jeblok. Hal ini juga dapat dialami oleh pelajar yang langganan juara di sekolah. Bahkan tak sekedar penurunan namun juga kemelorotan drastis. Jika demikian adanya, banyak diantara mereka yang tidak mampu mengembalikan posisinya. Putus asa dan frustasi terkadang juga melanda sejalan dengan berbagai kerja keras yang tak juga membuahkan hasil.
Lalu bagaimana? Seperti yang telah saya sebutkan diatas, proses itu adalah rutinitas. Dasar dari pemikiran rutinitas yang tepat adalah rajin, bukan kerja keras. Rajin lebih tertuju pada telaten dan tidak menunda-nunda. Untuk menjadi telaten dan tidak menunda-nunda, harus memiliki antusias, sehingga semangat guna memahami materi tidak mudah padam, bahkan dengan banyaknya halangan sekalipun.
Sedangkan kerja keras seolah membawa suasana yang berat. Banyak hal yang harus segera diselesaikan. Tidak ada lagi waktu untuk bersantai-santai. Harus mencurahkan segenap pemikiran dan tenaga untuk mencapai hasil yang maksimal. Kondisi yang demikian cenderung menimbulkan tekanan pada otak dan perasaan serta hidup yang tidak seimbang.
Rajin bukanlah tidak serius. Do it seriously too, but industrious can make enjoy every minutes you have. Proses bukan lagi suatu yang membosankan. Alhasil, tidak hanya pendidikan bangku sekolah saja yang mampu diperoleh. Merekrut jutaan pengalamam orang lain, pengetahuan dan wawasan dari dunia sekitar menjadi hal yang sangat mengasyikkan.
You don't have to be the same. You don't have to be similiar to other people. Just be yourself and do whatever you believe.

Rabu, 18 Februari 2009

Perangi Yahudiah
Hapuskan rezim Zionis
Bela negara Allah
Front Mujahidin bersatu


Saatnya membela Islam
Saatnya memerangi kafir
Saatnya berjihad
Saatnya jadi bangsa yg lebih punya Mujahidin

Jangan hanya diam membisu...
Jangan hanya melihat
Ayo ikut memerangi kafir
Dengan memboikot produk yg mempersenjatai mereka...

PALESTINE Menderita

Dunia tak hanya diam menyaksikan kebiadaban Israel di bumi Gaza, Palestina; kita semua akan melihat bahwa Israel pada akhirnya hanya tengah menyulut api untuk membakar dirinya sendiri.

Pagi ini, pagi esok, dan setiap pagi, anak-anak muda di Jalur Gaza akan lebih kuat dan berani untuk melawan penjajahan di atas tanah mereka, walau hanya dengan batu, atau apalagi dengan roket.

Para dedengkot Israel mati-matian meyakinkan diri mereka sendiri bahwa semakin keras mereka menghajar Palestina, maka akan semakin lemah lah rakyat Palestina. Namun mereka tidak menyadari, ketika semuanya usai, kebencian terhadap Israel semakin muntab, dan sejarah lama yang sudah berjalan akan terus menunggu mereka, tanpa direncanakan.

Jalur Gaza lebih kecil daripada Pulau Wight—sebuah pulau kecil yang terletak di laut selatan Inggris—tapi Gaza menampung 1.5 juta orang yang tak pernah bisa pindah dari sana. Mereka tumpang-tindih di sana, kelaparan, tanpa ada pekerjaan, dikelilingi tembok dan menara. Dari lantai atas menara mereka, kita akan bisa melihat perbatasan Gaza, Mediterania, dan kabel listrik Israel yang dipasang dengan keji. Jika bom meledak di Gaza, sudah dipastikan, tak ada tempat yang bisa digunakan untuk berlindung dan bersembunyi.

Sekarang, tengah terjadi perang di sana. Pemerintahan Israel berkata, “Kami mundur dari Gaza pada tahun 2005, dan yang kami dapatkan adalah roket Qassam dan Hamas menghujani kota kami. 16 orang mati. Berapa banyak lagi kami harus berkorban?” Ini adalah sebuah narasi yang sangat naif, dan banyak pula menyimpan celah. Jika kita ingin memahami realitas dan menghentikan serbuah roket, kita perlu meloncat ke beberapa tahun di belakang dan melihat apa penyebab semua itu.

Betul, pemerintahan Israel memang mundur dari Jalur Gaza tahun 2005—agar bisa lebih intensif mengontrol Tepi Barat. Dov Weisglass, penasihat senior Ariel Sharon, mengeluarkan pernyataan ambigu akan hal ini. “Penarikan dari Gaza hanya sementara. Penarikan ini akan menjadi indikasi bahwa tidak akan ada proses politik dengan Palestina. Negara Palestina sudah kami coret dari agenda kami.”

Sejak kali pertama mendengar pernyataan ini, warga sipil Palestina sudah diliputi perasaan was-was, dan karena ditambah kelakuan buruk pemimpin Fatah yang korup, mereka pun akhirnya memilih Hamas. Itu adalah pemilu yang bebas dan demokratis,dan polling yang dilalukan oleh Universitas Maryland, mengatakan bahwa 72% warga Palestina menginginkan solusi untuk kedua pihak, dan hanya kurang dari 20% saja yang tidak sudi berbagi tanah Palestina dengan Yahudi. Dan dengan segala tekanan tersebut, Hamas sudah sangat bersabar terhadap Israel dan menawarkan gencatan senjata, dan akan membiarkan Israel jika saja Yahudi-Yahudi itu mau kembali lagi ke daerah perbatasannya.

Alih-alih menerima tawaran Hamas yang simpatik tersebut, Israel malah bereaksi dengan menurunkan tangan keji pada segenap penduduk sipil Palestina. Israel menutup semua akses ke Gaza. Penduduk Gaza hidup dengan sedikit makanan, bensin, dan obat-obatan, tapi sama sekali tak cukup untuk bertahan hidup. Weisglass menyebutnya sebagai “Gaza sedang berdiet.” Menurut Oxfam, sebuah LSM yang bekerja di bidang pengentasan kemiskinan dan memerangi ketidakadilan di tiga benua di dunia, selama satu bulan terakhir ini hanya 137 truk pengangkut makanan yang boleh memasuki Gaza. Untuk jumlah 1.5 juta orang, suplai makanan tersebut jauh dari cukup. PBB mengatakan bahwa kemiskinan mencapai level luar biasa tak terkirakan. Orang yang datang ke rumah sakit langsung ditolak oleh pihak rumah sakit, karena antara rumah sakit dan rumah tinggal sudah tidak ada beda fungsinya. Di jalanan, anak-anak kecil bertebaran kelaparan.

Agresi terhadap Gaza telah melahirkan sesuatu yang amoral. Hamas mulai menembakan roket al-Qossam dan “hanya” menewaskan 16 orang Israel, bandingkan dengan Israel yang sudah melenyapkan lebih dari 500 jiwa hanya dalam waktu seminggu. AS dan Negara-negara Barat menapikan hal ini. Mereka mengatakan bahwa sangat tidak mungkin bernegosiasi dengan Israel sementara Negara Yahudi itu tengah menembakan roket, tapi mereka meminta rakyat Palestina untuk diam saja, untuk melakukan kompromi politik.

Israel sudah menolak gencatan senjata dan proses diplomatik dengan Hamas. Mengapa? Ini karena Israel ingin menghapus Palestina. Seorang penulis Yahudi mengatakan, “Jika kita menginginkan perdamaian sekarang, masalahnya bukan pada Hamas. Tapi pada Israel sendiri.”

Jumat, 06 Februari 2009

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).

Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.

Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.